Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk melindungi, menjaga serta melestarikan hutan, salah satunya dengan menerapkan hukum adat bagi pelaku pengrusakan hutan maupun pengelolaan hutan tanpa izin. Hukum adat yang melindungi hutan, sampai saat ini masih sangat dihormati dan ditaati oleh masyarakat. Hal tersebut dapat diamati di beberapa wilayah di Indonesia, salah satunya di desa Namo, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah pada 2018.
Landasan Hukum Hutan Desa Namo
- Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 49 Tahun 2008 tentang Hutan Desa yang sekarang berubah Permen LHK nomor 83 tahun 2016 tentang perhutanan sosial.
- Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.64/Menhut-II/2011 tentang Penetapan Kawasan Hutan Lindung Sebagai Areal Kerja Hutan Desa Namo Seluas 490 (Empat Ratus Sembilan Puluh) Hektar Di Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah.
- Keputusan Gubernur Sulawesi Tengah Nomor 522/59/DISHUTDA/-GST/2013 Tentang Pemberian Hak Pengelolaan Hutan Desa Pada Kawasan Hutan Lindung Desa Namo Kepada Lembaga Pengelola Hutan Desa Topolingku Ngata Desa Namo Kecamatan Kulawi Kabupaten Sigi Provinsi Sulawesi Tengah.
- Keputusan Lembaga Pengelola Hutan Desa Namo Nomor 01 Tahun 2016 Tentang Penunjukan Perkumpulan Inovasi Komunitas (IMUNITAS) sebagai Lembaga Pendamping Hutan Desa Namo.
Berdasarkan keterangan di atas sehingga dipandang perlu bahwa yang berhak mengelola dan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu di wilayah hutan desa Namo ialah masyarakat desa Namo itu sendiri melalui izin dari Lembaga Pengelola hutan desa namo . Dan apabila masyarakat di luar desa Namo yang mengelola hasil hutan bukan di wilayah hutan akan dikenakan saknsi oleh lembaga adat desa Namo.
Batas areal kerja Hutan Desa Namo berdasarkan hasil Peta Batas kawasan dan perairan, kehutanan oleh Badan Planologi kehutanan, pada peta RBI digital skala 1 : 50.000 NLP 2014-62, Bakorsurtanal berada pada 119,913514 – 119,945471 BT dan 1,389930 – 1,409773 LS. Di lapangan, batas-batas tersebut adalah sebagai berikut :
- Utara berbatasan dengan desa Salua dan sungai Kalapini
- Selatan berbatasan dengan desa Tangkulowi dan sungai haluwulu
- Barat berbatasan dengan gunung Tolilio
- Timur berbatasan dengan sungai Miu
Kronologis Pemberian Sanksi Adat Terhadap Tengkulak Rotan Desa Marena
Kamis 26 Juli 2018, salah satu warga desa Namo melapor ke pemerintah desa yaitu kepala desa yang ditemui pada acara tahlilan, warga tersebut melapor bahwa ada aktivitas merotan di wilayah hutan desa Namo tepatnya di Raramanga (salah tempat yang terletak di wilayah hutan desa) jumlah perotan ± 20 orang dengan perkiraan waktu 2 minggu melakukan aktivitas merotan di wilayah hutan desa Namo. Warga yang melapor juga menanyakan apakah perotan dari desa Marena sudah memiliki izin masuk ke wilayah hutan desa atau belum. Puhe, salah satu pengurus lembaga pengelola hutan desa yang kebetulan hadir di tempat tahlilan tersebut menjelaskan bahwa aktivitas merotan tersebut ilegal atau belum memeliki izin sama sekali dari lembaga pengelola hutan desa Namo.
Senin 30 Juli 2018, Sami, Tengkulak rotan desa Marena mendatangai rumah kepala desa Namo, terkait masalah aktivitas merotan yang dilakukan oleh anggota perotan desa Marena yang mengelola rotan di hutan desa, Sami menjelaskan bahwa dia tidak mengetahui lokasi merotan anggotanya berada dalam wilayah hutan desa Namo, yang diketahui Sami bahwa anggotanya melakukan pengambilan rotan di wiliyah Tangkulowi dan sudah memohon izin kepada pemerintah desa Tangkulowi untuk melakukan pengambilan rotan di wilayah tersebut, namun penunjuk jalan yang membawa anggota merotan untuk melakukan pengambilan rotan di wilayah Tangkulowi, secara tidak sengaja melakukan pengambilan rotan di wilayah hutan desa Namo, karna wilayah hutan desa Namo dan wilayah hutan Tangkulowi sangat berdekatan, dan saudara Sami mengaku salah dan memohon maaf serta siap menerima sanksi dari lembaga adat desa Namo.
Kamis 02, Agustus 2018 pukul 10:00 wita bertempat di rumah Ketua Lembaga Adat Desa Namo, dilaksanakan sidang adat terhadap tengkulak rotan desa Marena. Sidang dibuka oleh wakil lembaga adat, yang menjelaskan tentang sejarah hutan desa Namo serta sanksi-sanksi ketika mengelola, dan memanen rotan di wilayah hutan desa. Selanjutnya penyampaian dari lembaga pengelola hutan desa mengenai tata batas hutan desa Namo dan wilayah hutan Tangkulowi dan mengkalkulasikan kerugian rotan yang dipanen di wialayah hutan desa. Jika yang memanen rotan sampai 20 orang dan waktu memanen kurang lebih satu bulan, dalam satu hari, satu orang dapat memanen rotan 100 kg rotan perhari, dikali 20 orang dikali 30 hari, sehingga cukup besar kerugian rotan di wilayah hutan desa Namo. Selanjutnya lembaga adat berembuk untuk memutuskan sanksi terhadap tengkulak rotan desa Marena, keputusan lembaga adat mengenai sanksi/denda kepada tengkulak rotan yaitu 20 dulang, 2 mbesa, 2 ekor kerbau dan jika diuangkan sebesar Rp. 4.400.000.
Sekilas Tentang Hutan Desa Namo
Desa Namo dan desa Tangkulowi berdasarkan sejarah adalah desa yang memiliki hubungan persaudaraan yang masih dekat. Orang Namo kala itu pernah menggarap dan memiliki lahan bahkan dijadikan tempat pemukiman yang sekarang sudah masuk di wilayah Tangkulowi. Salah satu bukti adalah terdapatnya beberapa kuburan tua di tempat tersebut.
Pada November tahun 2007, Pemerintah Desa bersama tokoh masyarakat dari kedua Desa Tersebut melakukan negosiasi bersama untuk memastikan kembali batas-batas desa antara desa Tangkulowi dan desa Namo. Pemerintah desa dan tokoh masyarakat Tangkulowi merespon dengan positif usulan dari delegasi desa Namo tersebut, sehingga dilakukanlah survei bersama untuk memastikan luas wilayah hutan dari desa Tangkulowi yang diserahkan kepada desa Namo.
Dari hasil survei bersama tentang luas wilayah hutan yang diserahkan dan penetapan areal batas serta point-point kesepakatan batas tersebut tertuang dalam piagam kesepakatan yang ditandatangani oleh perwakilan kedua pemerintah desa, pemerintah kecamatan Kulawi, lembaga adat kecamatan Kulawi, tokoh agama dan tokoh masyarakat kecamatan Kulawi pada tanggal 29 November 2007.
Terbitnya Permenhut Nomor 49 tahun 2008 tentang Hutan Desa, maka kawasan hutan lindung dari desa Tangkulowi tersebut, diajukan oleh pemerintah desa Namo untuk diusulkan menjadi kawasan Hutan Desa.
Lembaga pengelola yang dibentuk di desa melalui musyawarah desa sebagaimana yang tertuang dalam Permenhut nomor 49 tahun 2008 tentang Hutan Desa saat itu. Sebelum pengusulan penetapan areal kerja Hutan Desa, desa Namo terlebih dahulu membentuk Pengurus Hutan Desa yang disebut dengan Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Topolingku Ngata Namo. Topolingku dalam bahasa lokal (Kulawi) yang berarti yang menjaga, yang melindungi, yang memelihara sedangkan Ngata adalah Kampung yang sekarang disebut dengan desa.
Diskusi tentang post