Kearifan lokal merupakan suatu bentuk kearifan lingkungan yang ada dalam kehidupan bermasyarakat di suatu tempat atau daerah -merujuk pada lokalitas dan komunitas tertentu.
kearifan lokal tidaklah sama pada tempat dan waktu yang berbeda dan suku yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh tantangan alam dan kebutuhan hidupnya berbeda-beda, sehingga pengalamannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memunculkan berbagai sistem pengetahuan baik yang berhubungan dengan lingkungan maupun sosial.
Sebagai salah satu bentuk perilaku manusia, kearifan lokal bukanlah suatu hal yang statis melainkan berubah sejalan dengan waktu, tergantung dari tatanan dan ikatan sosial budaya yang ada di masyarakat.
Perubahan – perubahan itu dapat menyebabkan terjadinya benturan – benturan di masyarakat. Dan benturan – benturan tersebut menimbulkan ketidakadilan serta memicu tumbuhnya konflik antar manusia.
Seperti yang diketahui, konflik adalah sebuah kondisi atau situasi yang tidak ideal atau tidak diinginkan, baik oleh seseorang, atau kelompok dimana terjadi ketidakseimbangan atau ketidaksetaraan dalam hal peranan, kekuasaan dan penguasaan terhadap sesuatu yang dapat mempengaruhi kehidupan-berdampak terhadap banyak orang- seseorang atau sekelompok orang atau golongan tertentu.
Sumber konflik adalah perbedaan dan perbedaan tersebut bersifat mutlak yang artinya secara obyektif memang berbeda. Namun perbedaan tersebut hanya ada pada tingkat persepsi.
Mengingat hal tersebut, untuk melakukan upaya-upaya dalam pengelolaan konflik sumber daya alam, selayaknya dilakukan identifikasi inisiasi komunitas atau masyarakat dalam menyelesaikan konflik pengelolaan sumber daya alam. Proses identifikasi tersebut telah dilakukan di desa Moa, Kecamatan Kulawi Selatan, Kabupaten Sigi.
Hal inilah yang dilakukan oleh NTFP-EP Indonesia bersama Siklus Konsorsium Lansekap Sigi yang terdiri dari Perkumpulan Imunitas dan Karsa Institute dalam program Green Livelihoods Alliance GLA 2.0 “Forest for just a future” Central Sulawesi.
Kordinator Program, Enjang Tri Budianto mengatakan bahwa hal tersebut dilakukan untuk mengidentifikasi serta menggali informasi-informasi terkait konflik, pengelolaan sumber daya alam, permasalahan serta penyelesaian konflik di tingkat komunitas atau desa.
“Kolaborasi bersama masyarakat dalam melakukan kerja-kerja lapangan sangat dibutuhkan sebagai bagian dari pelaku utama yang memahami situasi dan kondisi kewilayahannya.”
Pengelolaan konflik atas SDA syarat akan kepentingan masyarakat dari aspek sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan untuk tujuan kesejahteraan sebagai cita-cita luhur. Merujuk dari studi kasus yang terjadi di beberapa daerah mengenai konflik sumber daya alam, titik perdebatan yang sering terjadi ada pada klaim penekanan atas penguasaan objek tanah oleh para aktor.
Hal lain, akibat cara pandang ideologis yang menganggap masyarakat lokal beserta kebiasaan lokal merupakan ancaman bagi kelestarian lingkungan, pandangan mengenai konservasi hanya pada batasan lingkungan hutan dengan keanekaragaman hayati yang harus dilestarikan, namun abai akan kehadiran manusia yang merupakan satu kesatuan ekosistem dari alam semesta.
Karena itu, dibutuhkan keterlibatan semua pihak untuk merangkul masyarakat dengan kearifan lokal yang dimiliki bersama-sama ikut melibatkan diri secara sadar menjaga lingkungan.
“Persoalan ini sangat mendasar, sebab tanpa disadari pengetahuan mengenai kearifan lokal di lingkungan masyarakat memiliki kendala terkait pendokumentasian, sebagai wujud kasadaran menjaga dan merawat keberlangsungan adat istiadat.”
Diskusi tentang post