Di tengah krisis iklim, ancaman terbesar dari sektor kehutanan adalah deforestasi dan degradasi. Dua kerusakan atau peralihan lahan hutan ini membuat emisi yang tertahan dalam ekosistem akan menguap ke atmosfer menjadi gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global. Untuk mencegahnya perlu menaikkan nilai hutan agar memberikan manfaat paling besar.
Menurut Permenhut Nomor 30 tahun 2009, Deforestasi adalah perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi tidak berhutan yang diakibatkan oleh kegiatan manusia. Sementara itu, degradasi hutan adalah penurunan kuantitas tutupan hutan dan stok karbon selama periode tertentu yang diakibatkan oleh kegiatan manusia.
Deforestasi dan degradasi lahan menjadi momok pengelolaan hutan Indonesia. Lajunya yang kencang membuat segala usaha melindungi hutan Indonesia seolah sia-sia. Sebab dua hal ini yang selalu jadi patokan dalam melihat bagaimana komitmen Indonesia menjaga alamnya.
Keberhasilan memitigasi pemanasan global kerap bersandar pada indikator seberapa banyak pemerintah Indonesia bisa memperlambat laju keduanya. Dalam sektor kehutanan, yang menyumbang 17% emisi secara nasional sebesar 1,1 miliar ton CO2 pada 2017, degradasi dan deforestasi menyumbang 60% terhadap produksi karbon. Akibatnya, dua hal itu menjadi fokus perhatian utama pemerintah sepanjang waktu.
Kebakaran, perambahan, konversi lahan untuk berbagai keperluan adalah pemicu utama deforestasi dan degradasi lahan.
Menurut Ditjen KLHK, Indonesia berhasil menurunkan deforestasi 75,03 % di periode tahun 2019-2020, hingga berada pada angka 115,46 ribu ha. Angka ini jauh menurun dari deforestasi tahun 2018-2019 sebesar 462,46 ribu ha.
Dari 125 juta hektare kawasan hutan Indonesia, sebanyak 35 juta lahan hutan merupakan kawasan yang sudah tak produktif karena tutupan tajuknya di bawah 30%. Tapi, jika ditarik lebih jauh, apa yang sebenarnya memicu deforestasi? Tepatnya, apa yang memicu pembakaran, perambahan, dan konversi lahan?
Menurut Profesor Dodik Ridho Nurrohmat, Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB, penyebab utama semua itu adalah faktor ekonomi. Kemiskinan, rendahnya akses terhadap sumber daya, kian tingginya kompetisi terhadap sumber ekonomi, menjadi penyebab penduduk masuk ke kawasan hutan. Tapi di dalam kawasan hutan pun, nilai ekonominya tetap rendah.
Profesor Dodik Ridho Nurrohmat menunjukkan secara ilmiah nilai hutan yang naik jika mempraktikkan multiusaha. Dalam perhitungannya, nilai hutan jika hanya menyandarkannya pada kayu hanya Rp 400 per meter persegi per tahun. Nilainya akan naik jika dijadikan sawah, kebun, bahkan perumahan. Karena itu, deforestasi dan degradasi akan terus terjadi jika nilai hutannya tidak dinaikkan.
Sistem agroforestry adalah solusi atas deforestasi dan degradasi lahan. Praktik-praktik tradisional dalam perhutanan sosial di banyak tempat sudah membuktikan bahwa hutan bisa mencukupi kebutuhan penduduk dari segi sosial, ekonomi, dan ekologi.
Tiga faktor itu, menurut Dodik, yang menjadi penyebab deforestasi. Konflik-konflik tenurial kerap terjadi karena rebutan lahan antar penduduk, penduduk dengan negara lewat perambahan, penduduk dengan perusahaan pemilik konsesi akibat tumpang tindih izin. Rebutan lahan itu menjadi problem sosial yang belum sepenuhnya terpecahkan hingga hari ini.
Konflik mereda setelah kebutuhan ekonomi penduduk terpenuhi. Seperti di Ogan Komering Ilir. Dengan skema perhutanan sosial, masyarakat diberikan akses mengelola kawasan hutan maksimal 2 hektare per keluarga dengan diizinkan menanam karet. Penghasilan karet Rp 3 miliar per bulan. Mereka pun berhenti berkonflik dan pendapatan per kapita penduduk Rp 760 ribu per bulan per kapita. Karena mengikuti skema perhutanan sosial penduduk wajib menjaga mata air dan menanam pohon berkayu di sela pohon karet. Masalah ekonomi, sosial, ekologi pun terpecahkan.
Dalam agroforestry, pohon hutan dikombinasikan dengan jenis yang menghasilkan secara ekonomi per bulan, tiga bulan, dan tahunan. Seperti para petani Sunda Hejo di Garut. Mereka memulihkan kembali hutan lindung milik Perhutani di Gunung Mandalawangi dengan menanam kopi. Kopi tumbuh membutuhkan naungan sehingga mereka harus menanam pohon berkayu terlebih dahulu.
Kini, setelah pohon tumbuh dan kopi menghasilkan, mereka mengombinasikannya dengan buah-buahan. Sehingga ketika tak panen kopi, penghasilan mereka tetap terpenuhi dari memanen buah-buahan.
Agroforestry merupakan suatu bentuk pengelolaan sumber daya yang memadukan kegiatan pengelolaan hutan atau pohon kayu-kayuan dengan penanaman komoditas atau tanaman jangka pendek, seperti tanaman pertanian.
Agroforestry adalah sistem usaha tani yang mengkombinasikan antara tanaman pertanian dan tanaman kehutanan untuk meningkatkan keuntungan serta memberikan nilai tambah. Agroforestry sebagai bentuk usaha menumbuhkan dengan sengaja dan mengelola pohon secara bersama-sama dengan tanaman pertanian dalam sistem yang memperhatikan keberkelanjutannya secara ekologi, sosial dan ekonomi. Secara sederhana agroforestry adalah menanam pohon dalam sistem pertanian. Dalam satu kawasan hutan terdapat pepohonan baik homogen maupun heterogen yang dikombinasikan dengan satu atau lebih jenis tanaman pertanian. Keuntungan yang dapat diperoleh dengan cara ini adalah, masyarakat dapat mendapatkan hasil dari lahan hutan tanpa harus menunggu lama tanaman hutan dapat dipanen karena dapat mempero leh hasil dari tanaman pertanian baik perbulan atau pertahun tergantung jenis tanaman pertaniannya. Selain itu produktivitas tanaman kehutanan menjadi meningkat karena adanya pasokan unsur hara dan pupuk dari pengolahan tanaman pertanian serta daur ulang sisa tanaman. Hal ini jelas sangat menguntungkan petani karena dapat memperoleh manfaat ganda dari tanaman pertanian dan tanaman kehutanan.
Agroforestry dapat diklasifikasikan menjadi 5 yaitu:
1. Agrisilviculture (komponen pertanian dan kehutanan)
2. Silvopature (komponen kehutanan dan peternakan)
3. Agrosilvopasture (komponen pertanian, kehutanan dan peternakan)
4. Silvofishery (komponen kehutanan dan perikanan)
5. Agrosilvofishery (komponen pertanian, kehutanan dan perikanan)
Adapun pola penggunaan ruang dalam sistem agroforestry dapat dibagi menjadi 4 yaitu:
1. Trees Along Border, yaitu model penanaman pohon di bagian pinggir dan tanaman pertanian berada di tengah lahan.
2. Alternative Rows, yaitu kombinasi antara satu baris pohon dengan beberapa baris tanaman pertanian secara berselang-seling.
3. Alternative Strips atau Alley Cropping, yaitu kombinasi dimana dua baris pohon dan tanaman pertanian ditanam secara berselang-seling.
4. Random Mixture, yaitu pengaturan antara pohon dan tanaman pertanian secara acak.
Sumber :
Forestdigest.com
Hutanharapan.id
Diskusi tentang post