Matahari baru saja terbit pada suatu pekan di penghujung Mei. Di Pelabuhan Ampana, Kab. Tojo Una-Una, aktivitas perlahan ramai. Orang-orang berdatangan, ada calon penumpang, hingga para pekerja pengangkut barang. Kapal-kapal kayu terlihat bersandar di sisi-sisi dermaga.
Mereka yang ingin bepergian ke Kepulauan Togean akan memulai perjalanan dari pelabuhan itu. Ada yang menggunakan kapal kayu, dan ada juga yang menggunakan kapal cepat. Suasana dan aktivitas itu bisa disaksikan setiap hari.
Pada pagi menjelang siang, dengan cuaca yang cerah. KM. Wamburabura (lebih sering disebut Kapal Bura-Bura) perlahan meninggalkan Ampana. Pemberhentian pertamanya adalah Pelabuhan Wakai.
Saat jam menunjukkan pukul 3 sore lewat beberapa menit, Bura-Bura berlabuh di Pelabuhan Katupat. Di arah selatan Desa Katupat, terdapat sebuah desa: Lembanato. Desa yang berhadapan langsung dengan teluk yang bernama Teluk Kilat.
Di Lembanato, Perkumpulan IMUNITAS Sulawesi Tengah sedang berproses bersama Burung Indonesia dalam menjalankan sebuah program: Peningkatan kapasitas penerapan tata Kelola perikanan demersal skala kecil Desa Lembanato untuk mempertahankan kelestarian ekosistem pesisir dan sumber pendapatan nelayan secara berkelanjutan.
Desa Lembanato dan Teluk Kilat
Dari hasil diskusi bersama warga desa –hasil FGD berdasarkan alat kaji PRA (Participatory Rural Apraisal) dan kebiasaan nelayan dalam melakukan penangkapan ikan wilayah perairan Desa Lembanato— terdapat 6 titik area tangkap yang tersebar di Teluk Kilat.
Hujan baru saja turun siang itu. Perairan di Teluk Kilat terlihat tenang. Sesekali terlihat katinting warga yang melintas. Warga desa yang menjadi anggota kelompok datang satu per satu ke rumah Pak Sekdes memenuhi undangan pertemuan.
Sehabis pertemuan, Aswin, Raswin, Dedy, dan Refli masih bercerita di depan rumah. Mereka duduk di sebuah kursi panjang yang terbuat dari bambu. Aswin dengan topi biru yang dipakai terbalik sedang bercerita.
Dia kesal setiap kali mengingat peristiwa dimana Dedy, dan beberapa nelayan Lembanato lainnya bertemu dengan nelayan yang menangkap ikan dengan menggunakan bom di depan Teluk Kilat. Mendengar cerita Aswin, Dedy kembali teringat peristiwa itu.
Dedy — Warga Lembanato
“Kami sementara ba pancing, kami sudah liat ada orang di situ (menyelam), cuman baku dekat, tapi kami tidak tau kalo itu orang mau ba bom. Tiba-tiba paaangggg! Pokoknya suara ledakan”.
Sambung Dedy bercerita dengan ekspresif.
Dedy bersama beberapa nelayan Lembanato lainnya kaget ketika mendengar suara ledakan itu. Tidak lama, pancing diangkat. Mereka sadar, sudah tidak akan ada ikan yang menyambar umpan. Mereka ingin marah dan menegur. Namun urusan saling tegur seperti itu kerap kali menimbulkan masalah—pertikaian.
“Om”. Sesorang memanggil. Panggilan itu ditujukan kepada Dedy dan nelayan Lembanato lainnya. “Ini ikan”. Orang itu rupanya menawarkan ikan hasil bom kepada Dedy dan nelayan lainnya.
“Di situ sudah mau malam, daripada tiada ikan dibawa pulang, jadinya kitorang ambil itu ikan yang dikasih”.
Pengelolaan Kawasan Taman Nasional Kepulauan Togean.
Taman Nasional Kepulauan Togean berada di Sulawesi Tengah. Sebagai kawasan kupulauan dan dengan gugusan pulau-pulau kecilnya, keindahan terumbu karangnya tentu merupakan sebuah keunggulan. Keberagaman terumbu karang di Kepulauan Togean menjadi salah satu bagian ekosistem terpenting dari Segitiga Terumbu Karang (Coral Triangle).
Karang Kipas — Coral dari Genus Gorgonia di Kepulauan Togean
Kepulauan Togean merupakan kawasan wisata yang sangat diunggulkan karena memiliki potensi sumber daya perikanan, keanekaragaman hayati biota laut dan darat serta kekayaan budaya lokal. Belum lagi wilayah ini terletak pada garis Walacea-Weber, yang menyebabkan wilayah ini memiliki keunikan berupa spesies endemik.
Di Kepulauan Togean terdapat sekitar 262 spesies karang yang tergolong kedalam 19 jenis famili. Termasuk di dalamnya adalah karang endemik yaitu isopora togeanensis.
Seiring berjalannya waktu, pengelolaan kawasan Kepulauan Togean –hubungan dan akses komunitas—mengalami pergeseran, dari yang awalnya berbasis pada sistem pengelolaan sumber daya secara tradisional menjadi lebih berorientasi pada produk perikanan bernilai tinggi.
Pada 1990, Kepulauan Togean telah menjadi salah satu pemasok komoditas dalam perdagangan global untuk ikan Napoleon hidup. Hal ini sangat berperan dalam mengubah kondisi ekologi dan tatanan sosial masyarakat di Kepulauan Togean secara signifikan, terutama suku Bajau/Bajo, yang menjadi bagian utama dalam rantai perdagangan global tersebut.
Tingkat kerusakan terumbu karang pada periode ini meningkat tajam karena penangkapan ikan target yang tidak ramah lingkungan untuk memenuhi tingginya permintaan pasar.
Hingga kini praktik penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan masih terus terjadi di Kepulauan Togean. Rahmat Basri (Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Tojo Una-Una) menjelaskan bahwa praktik-praktik itu masih terjadi.
Sampai saat ini pelaku-pelaku itu ada yang berasal dari Kabalutan (Togean), Torosiaje (Gorontalo), dan Jaya Bakti (Pagimana).
Informasi mengenai pelaku-pelaku itu sudah banyak diterima dari nelayan-nelayan dan masyarakat di Togean.
“Untuk wilayah Kabalutan, saya pernah bicara sama warganya, apapun yang kalian minta akan kita kasih, yang penting jangan ba bom”.
Ujar Rahmat Basri saat berbincang dengan Perkumpulan IMUNITAS sesaat sebelum ia meninggalkan dermaga Lembanato.
Upaya-upaya pengawasan melalui patroli juga sudah dilakukan oleh aparat gabungan—Polairud, TNI AL, Dinas Kelautan dan Perikanan, serta Balai Taman Nasional Kepulauan Togean. Tak jarang, mereka memeriksa para penampung dan pembeli ikan. Jika ditemukan keterkaitan mereka bisa sampai ditangkap.
Rahmat Basri — Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Tojo Una-Una
Kesadaran masyarakat Togean untuk menjaga kelestarian ekosistem semakin meningkat.
Lampu-lampu rumah di Lembanato mulai menyala satu per satu. Aswin, Raswin, Dedy, dan Refli masih tetap bercerita di depan rumah Pak Sekdes. Refli bercerita. Dia mengatakan kalau uang Panai’ (mahar) yang dia gunakan untuk menikah pada 2018 ada yang merupakan hasil dari menangkap ikan dengan menggunakan bom.
Waktu itu, Dia bekerja dengan nelayan dari Kabalutan. Tugasnya adalah menyalakan bom.
“Itu sebelum kawin (pengeboman), dan memang hasilnya cepat (menguntungkan)”.
Kini Dia sadar kalau dampak kerusakan ekosistem akibat penggunaan bom sangatlah besar. Dia pun ikut bersama warga Lembanato lainnya dalam menjaga kelestarian Teluk Kilat.
Refli — Warga Lembanato
Hampir dua jam lamanya kami bercerita. Mulai dari terumbu karang, taripang, penanganan ikan sampai dengan penggunaan cara-cara ilegal dalam menangkap ikan.
Aswin –warga Lembanato yang menjadi bagian dari Balai Taman Nasional Kepulauan Togean (BTNKT)—sangat anti dengan nelayan yang menggunakan bom dalam aktivitas menangkap ikan di Kepulauan Togean. Setiap kali menemukan perahu atau katinting yang mencurigakan, dia segera memeriksanya.
Menurut dia, kesadaran masyarakat Togean untuk menjaga kelestarian ekosistem semakin meningkat. Namun di sisi lain, pelaku-pelaku pengeboman yang sudah pernah ditangkap dan diserahkan ke aparat berwenang untuk kemudian diproses kerap kali masih menjalankan aksinya.
Sambil duduk bersandar pada pagar halaman, dengan mata sedikit melotot, Aswin menunjuk lantai. Ia bercerita.
“Dia ini kemarin sudah ditangkap, sudah kita serahkan juga. Eh tidak lama dari situ kita dapat lagi dia ba bom”.
Hal itu membuatnya heran.
Mendengar hal itu, Raswin ikut mengiyakan. Dia juga mengaku, pernah beberapa warga punya keinginan untuk membuat bom untuk ditujukan kepada pelaku pengeboman.
“Kita ini, kita tau juga ba bikin bom. Jadi sementara dia menyelam ba bom di bawah (dasar laut), kita buang juga bom sama dia”.
Aswin — Warga Lembanato
Menurut mereka, dibutuhkan kerja sama berbagai pihak untuk menjaga kelestarian di Kepulauan Togean. Dan kehadiran LSM/NGO dengan terus berkoordinasi dengan dinas terkait serta selalu melibatkan masyarakat tentu saja merupakan salah satu bentuk kerja sama demi ekosistem yang lestari dan bagaimana agar masyarakat bisa terus memanfaatkan sumber daya secara berkelanjutan.
***
Di Lembanato, kegiatan pengumpulan data ekologi dilakukan secara partisipatif bersama masyarakat dan menghasilkan peta titik sebaran –terumbu karang, padang lamun dan mangrove—di area tangkap nelayan di Teluk Kilat.
Dari hasil pantauan, kondisi lamun dan terumbu karang masih terlihat baik. Namun di beberapa lokasi terumbu karang mulai menampakkan gejala coral bleaching atau pemutihan. Hal itu terjadi akibat perubahan iklim maupun dampak dari destructive fishing (pengeboman dan pembiusan) serta kegiatan tangkap ilegal lainnya.
Harapannya masyarakat bisa terus menjaga dan mempertahankan ekosistem perairan agar tidak melakukan praktik pengeboman, pembiusan dan pengambilan ikan secara berlebihan.
Masyarakat juga menginisiasi pembentukan lembaga lokal desa bernama Kelompok Pengelolaan DPL (Daerah Perlindungan Laut) Luok Kilat. Pembentukan itu dilakukan sebagai upaya-upaya perlindungan wilayah laut dan pesisir Desa Lembanato. Kelompok itu juga nantinya melakukan sosialisasi tentang pentingnya masyarakat terlibat dan berkolaborasi dalam upaya perlindungan wilayah laut dan pesisir demi ekosistem tetap lestari.
Diskusi tentang post