Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNBP) menyatakan bahwa perempuan memiliki risiko 14 kali lebih tinggi menjadi korban bencana dibanding pria dewasa. Hal ini disebabkan karena naluri perempuan yang ingin melindungi keluarga dan anak-anaknya, sehingga seringkali membuat mereka mengabaikan keselamatan diri sendiri.
Perempuan adalah kelompok rentan dalam masyarakat, terutama saat bencana alam terjadi. Sosiolog Elaine Enarson menyatakan dalam tulisannya bahwa korban terbanyak dalam bencana alam adalah perempuan. Perempuan menjadi korban terbanyak karena mendahulukan keselamatan anggota keluarganya.
Berdasarkan kajian yang dilakukan Oxfam (2006), sebagian besar korban (60 sampai 70 persen) adalah perempuan, anak-anak dan lanjut usia (lansia). Gambaran ini terjadi terjadi pada bencana alam dan bencana sosial. Dengan kondisi yang demikian maka penanganan bencana perlu dilakukan secara holistik dan tidak mengesampingkan perbedaan gender pada semua tahapan penanganan bencana dari tahap tanggap darurat hingga tahap rekonstruksi paca bencana. Penanganan bencana saat ini cenderung didasarkan dari sudut pandang laki-laki dan suara perempuan dianggap sudah terwakili oleh suara laki-laki.
Kerentanan perempuan dalam situasi bencana dapat dikelompokkan dalam dua tahapan, yaitu pada saat terjadi bencana dan setelah terjadi bencana atau masa recovery. Pada saat terjadi bencana, kondisi perempuan tidak diuntungkan karena posisinya sebagai perempuan. Bencana tsunami di Aceh tahun 2004, misalnya, sebagian besar korban tewas perempuan tidak terpisahkan dengan korban anak-anak yang masih kecil atau dalam posisi masih mendekap anak-anaknya. Sejumlah saksi mengatakan bahwa, banyak perempuan yang menjadi korban disertai oleh anak-anak. Perempuan tidak bisa berlari cepat meninggalkan rumah tanpa kepastian apakah anak-anaknya sudah selamat atau belum. Perempuan tidak hanya memikirkan bagaimana dia selamat, tetapi juga bagaimana dia harus menyelamatkan anak-anak dan keluarganya. Perempuan tidak kuasa untuk berlari secara cepat karena dia harus menggendong anaknya atau menggandeng anaknya, sementara kecepatan gelombang tsunami melebihi kecepatan seorang ibu berlari. Pada bencana tsunami di Aceh 2004, data menunjukkan sebanyak 55-70% korban meninggal adalah perempuan.
Salah satu upaya mengurangi potensi kerugian harta benda dan korban jiwa adalah dengan memberikan pendidikan waspada bencana ke setiap lapisan masyarakat, termasuk perempuan. Dalam buku sakunya, BNBP menjelaskan pendidikan itu termasuk memberikan pengetahuan tentang kemampuan mengenali dan memahami gejala awal bencana, kesiapan fasilitas dan tenaga pendukung, durasi penanganan bencana, dan prosedur penyelamatan pada saat bencana.
Perkumpulan IMUNITAS Sulawesi Tengah juga selalu aktif memberikan pelatihan dan pendampingan terkait pengurangan risiko bencana kepada seluruh lapisan masyarakat dan mendorong perempuan untuk selalu ambil bagian di dalamnya. Karena Dengan terpenuhinya hak semua orang maka akan mengantisipasi munculnya bencana baru yang akan menambah beban dan dampak yang dirasakan terutama oleh kelompok rentan seperti perempuan.
Sumber :
www.lptp.or.id
https://ipsk.lipi.go.id/
https://theconversation.com/
Diskusi tentang post