Iklim adalah rata-rata cuaca dimana cuaca merupakan keadaan atmosfer pada suatu saat di waktu tertentu. Iklim didefinisikan sebagai ukuran rata-rata dan variabilitas kuantitas yang relevan dari variabel tertentu (seperti temperatur, curah hujan atau angin), pada periode waktu tertentu, yang merentang dari bulanan hingga tahunan atau jutaan tahun. Iklim berubah secara terus menerus karena interaksi antara komponen-komponennya dan faktor eksternal seperti erupsi vulkanik, variasi sinar matahari, dan faktor-faktor disebabkan oleh kegiatan manusia seperti misalnya perubahan pengunaan lahan dan penggunaan bahan bakar fosil.
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Kerangka Kerja Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC) mendefinisikan Perubahan iklim sebagai perubahan iklim yang disebabkan baik secara langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia sehingga mengubah komposisi dari atmosfer global dan variabilitas iklim alami pada periode waktu yang dapat diperbandingkan. Komposisi atmosfer global yang dimaksud adalah komposisi material atmosfer bumi berupa Gas Rumah Kaca (GRK) yang di antaranya, terdiri dari Karbon Dioksida, Metana, Nitrogen, dan sebagainya.
Pada dasarnya, Gas Rumah Kaca dibutuhkan untuk menjaga suhu bumi tetap stabil. Akan tetapi, konsentrasi Gas Rumah kaca yang semakin meningkat membuat lapisan atmosfer semakin tebal. Penebalan lapisan atmosfer tersebut menyebabkan jumlah panas bumi yang terperangkap di atmosfer bumi semakin banyak, sehingga mengakibatkan peningkatan suhu bumi, yang disebut dengan pemanasan global.
Untuk melihat perubahan kondisi iklim di suatu wilayah, pada waktu tertentu di masa depan, dibandingkan dengan kondisi baseline disusun sebuah skenario iklim.
Apa Itu Skenario Iklim?
Penyusunan skenario iklim ditujukan untuk melihat perubahan kondisi iklim di suatu wilayah, pada waktu tertentu di masa depan, dibandingkan dengan kondisi baseline. Rentang waktu untuk membandingkan kedua kondisi tersebut adalah sekitar 30 (tiga puluh) tahun. Misalnya informasi tentang proyeksi perubahan curah hujan dan suhu udara pada skala waktu tertentu (tahunan, bulanan, atau harian) dan ketinggian muka laut.
Proyeksi ini disusun berdasarkan luaran model-model iklim yang dibangun untuk mempelajari konsekuensi pengaruh antropogenik perubahan iklim. Antropogenik perubahan iklim ini seringkali berguna sebagai masukan untuk model-model dampak iklim.
Pemilihan tahun proyeksi masa depan didasarkan pada kerangka waktu sistem pembangunan di Indonesia. Baik melalui Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) maupun Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP).
Skenario Iklim berdasarkan RCP (Representative Concentration Pathways)
RCP – Representative Concentration Pathways adalah generasi terkini dari skenario yang menyediakan masukan mengenai model-model iklim.
Skenario Iklim telah lama digunakan oleh para perencana dan pembuat keputusan untuk menganalisis situasi yang pengaruhnya tidak menentu (uncertain). Dalam riset iklim, skenario emisi digunakan untuk menggali seberapa jauh kontribusi manusia untuk perubahan iklim di masa depan yang dilihat melalui faktor-faktor tertentu seperti: pertumbuhan penduduk, pembangunan ekonomi, dan pengembangan teknologi baru.
Proyeksi skenario kondisi sosial dan ekonomi mendatang juga digunakan untuk menggali seberapa jauh dampak perubahan iklim pada perubahan kondisi dunia, misalnya: perubahan jumlah orang miskin di masa depan. Penggunaan skenario iklim ini tidak dimaksudkan untuk memprediksi masa yang akan datang, akan tetapi untuk memproyeksikan dampak-dampak yang akan terjadi di masa mendatang akibat perubahan iklim.
Amanat Perubahan Iklim
Laporan Kajian Ke-5 (Assessment Reports 5 atau AR5) Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) menyebutkan bahwa suhu bumi telah meningkat sekitar 0,8°C selama abad terakhir. Pada akhir tahun 2100, suhu global diperkirakan akan lebih tinggi 1.8-4°C dibandingkan rata-rata suhu pada 1980-1999. Kenaikan suhu ini setara dengan 2.5-4.7°C jika dibandingkan periode pra-industri (1750). Laporan IPCC juga menegaskan bahwa terjadinya perubahan iklim yang berupa meningkatnya emisi gas rumah kaca (karbon dioksida, metana, nitrogen oksida dan sejumlah gas industri) diakibatkan oleh aktivitas manusia Peningkatan emisi gas rumah kaca dalam 50 tahun terkahir menunjukkan yang tertinggi dalam sejarah dan belum pernah terjadi sebelumnya sejak 800.000 tahun yang lalu. Perubahan iklim juga telah berdampak pada ekosistem dan manusia di seluruh bagian benua dan samudera di dunia serta beresiko besar bagi kesehatan manusia, keamanan pangan global, dan pembangunan ekonomi. Permasalahan perubahan iklim dan dampaknya mendorong Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brazil tahun 1992, menghasilkan Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change, UNFCCC). Konvensi ini bertujuan untuk menstabilisasi konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat yang tidak membahayakan sistem iklim sehingga ekosistem dapat memberikan jaminan pada produksi pangan dan keberlanjutan pada pembangunan ekonomiKonvensi Perubahan Iklim memiliki kekuatan hukum sejak 21 Maret 1994 dengan membagi negara-negara peratifikasi dalam 2 (dua) kelompok, yaitu Negara Annex I dan Negara Non-Annex I. Negara Annex I adalah negara-negara penyumbang emisi GRK sejak revolusi industri. Sedangkan Negara Non-Annex I adalah negara-negara yang tidak termasuk dalam Annex I yang kontribusinya terhadap emisi GRK jauh lebih sedikit dan memiliki pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih rendah.
—
Perubahan iklim berdampak sangat luas pada kehidupan masyarakat. Kenaikan suhu bumi tidak hanya berdampak pada naiknya temperatur bumi tetapi juga mengubah sistem iklim yang mempengaruhi berbagai aspek pada perubahan alam dan kehidupan manusia, seperti kualitas dan kuantitas air, habitat, hutan, kesehatan, lahan pertanian dan ekosistem wilayah pesisir. Fenomena-fenomena perubahan iklim telah terjadi di dunia, bahkan di Indonesia.
Laporan terbaru dari 120 peneliti menyatakan bahwa perubahan iklim memiliki dampak semakin parah bagi kesehatan di seluruh negara.
Laporan tahunan The Lancet Countdown on Health and Climate Change menyajikan data terbaru tentang dampak kesehatan akibat iklim yang berubah.
Salah satu hasil dari penelitian adalah ada 296.000 kematian dini berkaitan dengan panas pada usia lebih dari 65 tahun di 2018 (ini naik 54% selama 2 dekade belakangan). Lebih lanjut, potensi panen pangan global menurun 1,8-5,6% antara tahun 1981 dan 2019.
Perubahan iklim juga merupakan faktor penting pada kekeringan. Laporan menunjukkan bahwa pada tahun 2019, kekeringan berlebihan mempengaruhi wilayah dua kali lebih luas di seluruh, bila dibandingkan dengan baseline tahun 1950-2005.
Kekeringan dan kesehatan saling terkait. Kekeringan akan berujung kepada berkurangnya suplai air minum, ternak, dan produktivitas pangan, serta kenaikan risiko kebakaran.
Perubahan iklim juga berdampak bagi biodiversitas. Analisis terbaru menunjukkan persentase tinggi dari spesies pada ekosistem lokal dapat terpapar bahaya iklim secara bersamaan. Alih-alih bisa bertahan dari dampak perubahan iklim, banyak ekosistem berada dalam kondisi terancam.
Hilangnya biodiversitas secara mendadak akibat perubahan iklim memberikan ancaman yang signifikan bagi kesejahteraan manusia. Di banyak negara, sebagian besar orang bergantung pada lingkungan untuk pangan dan pendapatan.
Perubahan mendadak pada ekosistem lokal dapat berdampak negatif pada kemampuan manusia untuk mendapatkan penghasilan dan memenuhi kebutuhan pangan, bahkan mendorong kepada kemiskinan. Misalnya, ekosistem laut di kawasan Indo-Pasifik, Karibia, dan pantai barat Afrika berisiko besar untuk mengalami perubahan mendadak pada awal 2030-an. Ratusan juta orang di sepanjang wilayah ini bergantung pada hasil tangkapan ikan sebagai sumber makanan utama. Selain itu, pendapatan ekowisata dari terumbu karang juga menjadi sumber pendapatan utama.
Di Amerika Latin, Asia, dan Afrika, dan sebagian besar hutan di Andes, Amazon, Indonesia, dan Kongo diprediksikan akan berada dalam bahaya mulai tahun 2050 berdasarkan skenario kenaikan emisi tinggi.
Hilangnya kumpulan satwa secara tiba-tiba berdampak negatif terhadap ketahanan pangan masyarakat suatu wilayah. Lebih lanjut, ada penurunan kemampuan tanaman tropis untuk menyimpan karbon apabila burung dan mamalia penting yang berperan kepada penyebaran biji tiba-tiba hilang.
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa perubahan iklim berdampak sangat buruk bagi dunia dan tidak terkecuali Indonesia, khususnya juga pada sektor keamanan pangan dan sektor perikanan. Kekeringan yang terjadi di Indonesia mengubah pola tanam yang mengakibatkan gagal panen. Selain itu, perubahan iklim juga mengubah arus laut dan menyebabkan pengasaman laut, sehingga menyebabkan menurunnya hasil tangkapan ikan.
Dampak perubahan iklim lainnya adalah siklus hujan berintensitas ekstrem yang kini berubah menjadi lebih cepat. Dari yang awalnya 10 tahunan bahkan 20 tahunan, kini menjadi hanya dalam waktu 5 tahunan bahkan kurang. Hal ini tentunya dapat menyebabkan terjadinya bencana hidrometeorologi. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, lebih 90% bencana pada 2020 merupakan bencana hidrometeorologi. Selain banjir di pesisir, juga banjir di daerah aliran sungai. Seperti yang kita ketahui bersama, mengawali tahun 2021, beberapa kejadian banjir bandang dan longsor juga terjadi di beberapa provinsi di Indonesia, contohnya di Sumatera, Jawa, Kalimantan hingga Sulawesi. Tentunya perubahan iklim harus menjadi perhatian kita semua.
Sumber:
Kompas.com
ditjenppi.menlhk.go.id
theconversation.com
mongabay.co.id
Diskusi tentang post