Eko Teguh Paripurno adalah seorang Pakar Mitigasi. Direktur Pusat Penelitian Penanggulangan Bencana Universitas Pembangunan Nasional Yogyakarta, menerima penghargaan UN Sasakawa Award for Disaster Reduction pada 16 Juni 2009 di Jenewa atas pengabdiannya yang luar biasa di bidang pengurangan risiko bencana.
Eko Teguh yang dikenal dengan panggilan akrab Pak/Bang/Kang ET (baca: ete), lahir di Malang pada tanggal 3 Juni 1962. Setelah menyelesaikan SMA di Kota Trenggalek, Jawa Timur, Kang ET melanjutkan ke Jurusan Geologi, UPN “Veteran” Yogyakarta hingga meraih gelar sarjananya pada tahun 1978.
Tahun 1998 berhasil menyelesaikan jenjang Magister Teknik Geologi di ITB, Bandung dan gelar Doktor diraihnya di Unversitas Padjadjaran pada tahun 2009. Pada periode Januari 2005 hingga Juni 2007 pernah menjadi konsultan DPR untuk Penyusunan UU Penanggulangan Bencana.
Kegemaran Kang ET berurusan dengan bencana, khususnya yang berkaitan dengan bencana gunung berapi, membuatnya dijuluki sebagai “pemburu” bencana alam. Tak sekedar gunung meletus, sejumlah bencana lain pun disambangi. Antara lain tsunami di Aceh, Pangandaran, Papua, gempa bumi di Yogyakarta, Padang dan Palu. Namun bagi Kang ET, yang sesungguhnya dilakukan bukanlah memburu, tapi mengurusi pengurangan risiko bencana.
Dalam artikel kali ini, IMUNITAS menayangkan hasil wawancara bersama Kang ET yang selama hampir seminggu berada di Palu untuk memberikan pelatihan dalam kegiatan ToT yang dilaksanakan Perkumpulan IMUNITAS bersama Caritas Germany, pada 25-30 Oktober 2021 di Kota Palu.
IMUNITAS : Dalam upaya mencegah dan mengantisipasi terjadinya bencana, masyarakat perlu diberikan atau melakukan mitigasi bencana. Menurut Kang ET upaya-upaya apa yang utamanya harus dilakukan dalam mitigasi bencana?
Kang ET : Mengelola risiko bencana itu ada runutan. Pertama, setiap orang, setiap warga harus memahami risiko bencananya. Artinya kita harus memahami karakter bahayanya. Karakter bahaya di desa kita apa atau misalnya di rumah kita. Setiap bahaya itu tentunya akan menjadi bencana kalau kita punya kerentanan. Misalnya kalau rumah kita buruk konstruksinya, tentu akan menjadi rentan. Sehingga berisiko kalau ada bahaya gempa. Nah, tapi kalau banjir kan tidak. Kekeringan juga tidak. Karena itu karakter bahaya yang berhubungan dengan kerentanan itu harus dicermati.
Nantinya, dalam mengelolanya itu dimulai dari mengeksploitasi dan mengeksplorasi kapasitas kita. Contohnya, kalau bahayanya banjir maka bahaya itu berisiko pada orang yang tidak bisa berenang. Cara mengelolanya yaitu dengan, misalnya kalau kita punya uang Rp. 50.000, kita bisa beli ban bekas agar kita mampu mengadaptasi banjir. Jadi kita harus mengkaji risiko dengan cara memahami karakter bahaya, kerentanan dan dikelola dengan kapasitas yang ada. Prinsipnya itu.
Dalam mengelolanya diperlukan serangkaian kegiatan yang harus dilakukan. Misalnya memahami karakter bahaya, maka diperlukan peringatan dini. Karena tahu peringatan dini maka seseorang punya waktu untuk mengetahui, apakah dia perlu menghindari bahayanya atau tidak. Perlu mengevakuasi atau tidak. Ketika dia mengevakuasi maka dia harus tahu manajemen penanganan daruratnya. Jadi sesorang itu atau kita harus paham ada kegiatan-kegiatan yang bisa dilakukan. Bagaimana mencegah, bagaimana memitigasi, bagaimana membangun kesiapsiagaan, bagaimana mengelola darurat, bagaimana memulihkan.
Tetapi terlepas dari itu semua, kegiatan untuk mencegah, memitigasi, membangun kesiapsiagaan, mengelola darurat, membuat rencana pemulihan itu tidak bisa secara tiba-tiba, sehingga perlu perencanaan. Ada kegiatan-kegiatan mulai dari rencana mitigasi, rencana evakuasi, rencana penanganan darurat, hingga rencana pemulihan. Namun di dalam keseharian, ketika kita membuat rencana untuk dilakukan, itu kan tidak serta merta bisa, karena ada kebijakan desa, kebijakan kabupaten, yang bisa saja tidak selaras dengan permasalahan yang ada di komunitas warga. Maka itu perlu ada upaya-upaya untuk membuat perencanaan yang utuh tadi untuk diadvokasikan ke dalam perencaan desa. Jadi prinsipnya, setelah tahu risiko, punya rencana-rencana tindakan, ini harus disepekati dan dikelola bersama di level warga, baik desa maupun kabupaten. Karena tidak semua lancar maka ada advokasi kebijakan. Artinya agar kebijakan-kebijakan di desa, di kabupaten itu selaras dengan kebutuhan untuk mengelola risiko tindakan-tindakan tersebut.
IMUNITAS : Seberapa penting pembentukan komunitas/kelompok relawan bencana atau siaga bencana?
Kang ET : Komunitas/kelompok itu adalah bentuk pengorganisasian. Jadi setiap ada upaya untuk mencapai tujuan, perlu mengorganisasi diri. Contohnya, dalam permainan bola, diperlukan latihan, diperlukan koordinasi tiap lini agar sebuah tim dapat bekerja dengan baik. Jadi, tidak bisa tanpa latihan terus tiba-tiba menang, karena tidak ada mekanisme koordinasi. Jadi tim itu dibentuk untuk memastikan tujuan itu tercapai. Oleh karena itu tim-tim relawan, tim FPRB itu tugasnya memastikan program-program itu bisa berjalan dengan baik. Jadi harus ada itu. Yang jadi masalah adalah kalau relawan atau forum itu merasa harus bekerja sendiri. Itu tidak boleh. Jadi harus bekerja sama dengan pihak lain. Dengan siapa? Yaitu dengan komponen-komponen pentahelix baik di desa, kabupaten maupun provinsi. Kelompok/komunitas itu harus menggandeng pada level yang sama. Maksudnya, jika komunitas tersebut adalah komunitas desa, maka yang harus digandeng adalah pemerintah desa, begitupun untuk kabupaten maupun provinsi. Jadi, jangan menggandeng pihak-pihak di luar levelnya.
IMUNITAS : Bisakah Kang ET menjelaskan sedikit terkait konsep kawasan tangguh bencana.
Kang ET : Yang namanya ketangguhan desa itu batasnya bersifat administratif, tetapi kalau bahaya itu tidak administratif, bahaya itu adalah kawasan. Gempa dan tsunami itu pasti kenanya (kawasan) pantai, banjir itu pasti di kawasan sungai, longsor itu di kawasan pegunungan. Jadi sangat tidak mungkin, misalnya, tsunaminya tolong di Palu saja yah, Donggala jangan, tentu tidak seperti itu. Misalnya lagi, tolong banjirnya Sigi saja yah, Palu jangan. Oleh karena itu, para pihak harus bekerja dalam pendekatan kawasan. Kawasan itu misalnya bisa dari hulu – hilir agar bisa saling bekerja sama. Sama halnya juga seperti mengungsi. Jika di suatu desa terdapat banjir pasti mengungsinya bisa sampai ke desa sebelah atau desa tetangga. Jadi jangan sampai, misalnya mengungsi itu berdasarkan wilayah, pengungsi Palu tolong mengungsi di Palu saja yah, jangan mengungsi di Sigi. Itulah kenapa pendekatannya harus pendekatan wilayah atau kawasan. Jadi antar desa harus saling membantu dan saling mendukung
IMUNITAS : Apa harapan Kang ET kepada pemerintah dan masyarakat Sulawesi Tengah terkait penanggulangan bencana.
Kang ET : Harapan saya selalu sama dengan daerah-daerah yang lain. Saya berharap masyarakat itu mampu mengelola risiko bencananya secara mandiri. Mandiri itu maksud saya bukan dikelola secara sendiri, tetapi dilakukan atas inisiatif sendiri bersama pihak- pihak yang bisa diajak bekerja sama membantu menyelesaikan. Pemerintah diharapkan dalam melakukan pengelolaan isu bencana itu bersungguh-sungguh agar pembangunan berkelanjutan itu bisa tercapai. Orang kadang berpikir pembangunan selanjutnya tetapi tidak memikir risikonya, padahal setiap ada bencana pasti merusak hasil pembangunan. Contohnya, kemarin dalam bencana, kantor-kantor rusak, pemukiman juga rusak, itu karena ketika membangun kita tidak memikirkan bagaimana pengelolaan risiko bencananya. Repot kan jadinya. Jadi harus mempertimbangan upaya pengurangan risiko bencana. Semua komponen pentahelix harus bekerja sama dengan baik. Tapi, tidak bisa juga hanya pemerintah saja yang bekerja, harus ada akademisi, media, dan organisasi masyarakat sipil. Semua itu harus bekerja sama dengan baik.
Sumber: https://tirto.id/m/eko-teguh-paripurno-uT
Diskusi tentang post