Hasil hutan bukan kayu (HHBK) merupakan sumber daya alam yang sangat melimpah di Indonesia dan memiliki prospek yang sangat baik untuk dikembangkan. Sampai dengan Tahun 2019 terdapat 125.921.112 ha luas kawasan hutan Indonesia. Kawasan hutan tersebut terdiri atas hutan konservasi seluas 27.422.592 ha, hutan lindung seluas 29.661.015 ha, hutan produksi terbatas seluas 26.787.910 ha, hutan produksi tetap seluas 29.202.047 ha, dan hutan produksi yang dapat di konservasi seluas 12.847.548 ha.
Hasil hutan bukan kayu (HHBK) adalah hasil hutan hayati baik nabati maupun hewani beserta produk turunan dan budidaya kecuali kayu yang berasal dari hutan. Pengertian lainnya dari hasil hutan bukan kayu yaitu segala sesuatu yang bersifat material (bukan kayu) yang diambil dari hutan untuk dimanfaatkan bagi kegiatan ekonomi dan peningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hasil hutan bukan kayu pada umumnya merupakan hasil sampingan dari sebuah pohon, misalnya getah, daun, kulit, buah atau berupa tumbuhan-tumbuhan yang memiliki sifat khusus seperti rotan, bambu dan lain-lain. Pemungutan hasil hutan bukan kayu pada umumnya merupakan kegiatan tradisionil dari masyarakat yang berada di sekitar hutan, bahkan di beberapa tempat, kegiatan pemungutan hasil hutan bukan kayu merupakan kegiatan utama sebagai sumber kehidupan masyarakat sehari-hari. Sebagai contoh, pengumpulan rotan, pengumpulan berbagai getah kayu seperti getah kayu Agathis, atau kayu Shorea dan lain-lain yang disebut damar.
Untuk HHBK, pada Tahun 2019 mencatat produksi dari sektor non kayu ini naik secara signifikan yaitu sebesar 474.198 ton dari sebelumnya tahun 2018 yang hanya sebesar 329.633 ton. Ekspor hasil hutan pada tahun 2019 juga sedikit meningkat yaitu senilai 11,64 milyar Dolar Amerika, sedangkan tahun 2018 senilai 11,27 milyar Dolar Amerika.
Berikut ini Imunitas akan menampilkan beberapa pernyataan terkait HHBK yang Imunitas himpun dari Kabar Lariang.
“Pengembangan Usaha HHBK Melalui Pembiayaan Rantai Terintegrasi” Gamal Abdul Kahar, Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sulteng.
“Mulai dari potensi gula aren, karet, rotan, potensi jasa lingkungan, agroforestry, jabon dan minyak atsiri, semua ada di wilayah Sulteng dan ini mesti dan perlu untuk dikembangkan”
Pada 2018 Sektor Agroindustri di Sulteng memberikan kontribusi PDRB paling besar mencapai Rp. 41, 76 triliun (27,73%). Dan HHBK merupakan salah satu subsektor Agroindustri yang memiliki potensi ekonomi yang cukup tinggi untuk dikembangkan sebagai basis ekonomi kerakyatan.
“Namun demikian, perhatian pemangku kepentingan terkait belum sepenuhnya mendukung perkembangan Usaha HHBK”
Gamal Abdul Kahar menguraikan pemberdayaan Usaha HHBK melalui Pembiayaan Rantai Terintegrasi.
“Pemberdayaan Usaha HHBK melalui skim pembiayaan rantai memerlukan perhatian lintas pemangku kepentingan dan kerjasama antar instansi terkait antara lain pemerintah daerah, lembaga jasa keuangan, NGO, asosiasi pengusaha dan akademisi, hal tersebut diperlukan untuk memacu perkembangan usaha HHBK”
Gamal Adul Kahar menyarankan mengenai strategi optimalisasi yang dapat ditempuh, pertama yaitu keterlibatan BUMDes/BUMADes dan Koperasi dalam rantai pemasaran dan penjualan produk. Kedua, keterlibatan instansi terkait dalam penguatan produksi dan pengendalian kualitas. Ketiga, keterlibatan instansi terkait dalam kegiatan promosi, event, pencarian calon investor atau pembeli potensial skala besar. Keempat, keterlibatan lembaga jasa keuangan untuk penguatan permodalan melalui skim – skim kredit yang tepat sasaran.
Otoritas Jasa Keuangan sendiri berkomitmen memberikan dukungan dalam hal perluasan akses keuangan, literasi dan edukasi keuangan, kegiatan asistensi dan pendampingan.
“OJK senantiasa akan bersinergi dengan pemerintah daerah, dalam rangka mendorong pemberian akses bagi masyarakat sekitar hutan, untuk mendapat dukungan – dukungan itu.” Tutup Gamal Abdul Kahar.
“Perda Sebagai Upaya Mendukung Sumber daya Non Kayu” Nahardi, Kepala Dinas Kehutanan Prov. Sulawesi Tengah.
Dalam mendukung upaya pelayanan pengelolaan sumber daya non kayu atau hasil hutan bukan kayu (HHBK), Pemerintah Sulawesi Tengah memiliki satu buah Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2019 yang juga disertai dengan Peraturan Gubernur Nomor 44 Tahun 2019.
“Perda dengan Pergub tersebut isinya untuk mempercepat pelayanan kepada masyarakat dalam rangka mendukung sumber hasil hutan bukan kayu.”
Nahardi menyebutkan dalam pengembangan HHBK sendiri terdapat beberapa hal yang menjadi prioritas utama, yakni pertama menyangkut produksi, kedua penguatan kelembagaan, ketiga pemasaran produk HHBK dan keempat menyangkut permodalan.
“Pengembangan produk HHBK menjadi peluang dalam upaya peningkatan ekonomi masyarakat sekitar hutan dan meminimalisir laju kerusakan hutan sehingga diperlukan peran aktif seluruh stakeholder untuk mengembangkan dan memasarkan potensi produk HHBK”
Nahardi mengatakan kelompok masyarakat yang ada di sekitar hutan yang mengelola hasil hutan bukan kayu, tujuan utamanya sebagai upaya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan yang akan mendukung bergeraknya ekonomi di masyarakat. Kelompok masyarakat di sekitar hutan dapat akses mengelola sumber daya yang ada di lokasi hutan dan sekitar hutan melalui skema dan peraturan yang telah ditetapkan.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa skema pengelolaan secara partisipatif mesti didorong agar masyarakat benar – benar bisa terlibat aktif dalam mengelola potensi yang ada dan memanfaatkan potensi hasil hutan bukan kayu termasuk jika memiliki potensi jasa lingkungan seperti objek yang dapat dikembangkan menjadi tempat wisata dan kini mulai berkembang di beberapa wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang ada di Sulteng.
“Potensi Hasil Hutan Bukan Kayu Butuh Sentuhan Industri” Mulhanan Tombolotutu, Direktur Utama PT. Bangun Palu Sulawesi Tengah (BPST).
“Hasil hutan bukan kayu dapat bernilai ekonomis, jika terintegrasi dengan pasar. Agar bisa terkoneksi dengan pasar, olehnya diperlukan sebuah industri yang menyentuh potensi sumber daya hutan tersebut.” Ucap Mulhanan.
Potensi sumber daya hutan di Sulawesi Tengah khususnya hasil hutan bukan kayu sangat besar dan menjanjikan serta dapat mendukung ekonomi masyarakat sehingga cara pandang masyarakat pun terkait sumber daya hutan tersebut mesti diubah untuk memastikan bahwa potensi sumber daya hutan bukan kayu tersebut memberikan manfaat penghidupan yang besar bagi masyarakat.
Pengembangan potensi hutan dan hasil hutan bukan kayu tentunya harus mengacu pada aspek sosial, ekologi, dan ekonomi yang menjadi satu kesatuan yang utuh dan tidak terpisahkan satu sama lainnya.
PT. Bangun Palu Sulawesi Tengah yang mengelola Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Palu akan bekerjasama dalam rangka pengembangan potensi sumber daya hutan melalui keterlibatan langsung masyarakat di sekitar hutan maupun lembaga yang mengelola potensi – potensi sumber daya hutan non kayu.
“PT. Bangun Palu Sulawesi Tengah akan bersinergi dan bekerjasama dengan para pihak untuk pengelolaan dan pengembangan hasil hutan khususnya hasil hutan bukan kayu (HHBK).” Tutup Mulhanan Tombolotutu.
Sumber :
bps.go.id
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
ilmuhutan.com
Kabar Lariang
Diskusi tentang post